Candi Laras, Kalimantan. Mungkin tidak banyak orang yang tahu tentang situs purbakala Candi Laras, apalagi menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Hal ini memang disadari, karena situs purbakala Candi Laras terletak jauh dari ibukota kabupaten apalagi propinsi. Letaknya sekitar 30 kilometer dari Kota Rantau, tepatnya di sebuah desa di Margasari Kecamatan Candi Laras Selatan.
Secara fisik, bangunannya berupa sumur tua dan terdapat beberapa batang kayu ulin besar yang berumur ratusan tahun yang tertanam tidak jauh dari sumur tersebut. Lokasinya pun terletak di sebuah pematang yang dikelilingi persawahan warga sekitar. Selain itu, ada dua buah batu besar yang oleh warga sekitar disebut Batu Babi. Saat ini, benda sejarah tersebut disimpan di Museum Banjarbaru.
Situs purbakala Candi Laras ini diperkirakan dibangun pada 1300 Masehi oleh Jimutawahana, keturunan Dapunta Hyang dari kerajaan Sriwijaya. Jimutawahana inilah yang diperkirakan sebagai nenek moyang warga Tapin.
Kalau dilihat dari tahun berdirinya, sebenarnya
Candi Laras lebih tua dari candi serupa yang ada di Amuntai yakni Candi Agung yang didirikan pada saat pemerintahan kerajaan Negara Dipa, 1350 Masehi.
Namun dari aspek pengelolaan aset sejarah, Candi Agung memiliki daya pesona yang menarik wisatawan ketimbang Candi Laras. Laiknya sebuah ladang yang tidak memiliki nilai historis, sehingga terlalu tendensius ketika situs purbakala Candi Laras ini dikatakan sebagai salah satu objek wisata sejarah di Kabupaten Tapin.
Untuk bisa sampai ke lokasi situs purbakala ini saja, pengunjung harus menggunakan sampan yang oleh warga sekitar disebut jukung atau dengan Kelotok. Sebab, tidak adanya jalan darat yang menghubungkan lokasi
Candi Laras dengan desa sekitarnya. Meski sebenarnya, jarak antara situs purbakala ini dengan desa sekitar relatif dekat hanya sekitar satu kilometer.
Perbedaan Religiusitas
Sebenarnya tulisan ini hanya merupakan bentuk keprihatinan penulis (mohon maaf kalau terlalu emosional) sebagai warga yang terlahir di ‘tanah candi’ terhadap peninggalan sejarah umat Budha ini, dan tidak berupaya mengulas secara historis ilmiah tentang eksistensi situs purbakala Candi Laras tersebut.
Selama ini sekitar satu dasawarsa, sepengetahuan penulis belum ada komitmen yang visioner dari pemerintah daerah terhadap pelestarian aset sejarah ini.
Alih-alih pemerintah propinsi yang jauh dari lokasi situs purbakala Candi Laras, ‘Sang Raja Tapin’ yang duduk tegar di singgasana pun seakan tidak pernah hirau pada pelestarian aset yang bernilai historis ini. Apalagi berniat mengelolanya sebagai objek wisata sejarah. Spirit untuk melestarikan aset sejarah ini sepertinya belum tertuang dalam sebuah komitmen yang praktis, sehingga belum ada strategi dan pola pengelolaan terhadap situs purbakala Candi Laras.
Bukan sebuah alasan yang bisa menjustifikasi, keengganan untuk melestarikan aset sejarah ini dikarenakan
Candi Laras merupakan candi yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita yang notabenenya beragama Budha atau Hindu. Maka, ketika saat ini kita tidak lagi menganut agama yang diyakini nenek moyang kita, semangat untuk melestarikan aset sejarah bernuansa agama yang berbeda tersebut menjadi pudar seiring transformasi kepercayaan (religiusitas) masyarakat yang notabene saat ini beragama Islam. Kalau hal ini menjadi mindset mayoritas warga, apalagi misalnya bagi petinggi daerah ini, betapa hal ini sangat memiriskan hati.
Kalau dibandingkan dengan bangsa India, misalnya, tentu hal ini menjadi potret yang antagonis. Karena, pada umumnya tempat yang menjadi lokasi wisata yang merupakan peninggalan sejarah tidak didasarkan pada kesamaan religiusitas. Seperti Taj Mahal dan sebagainya yang merupakan peninggalan sejarah agama Islam yang notabene berbeda dengan religiusitas mayoritas yang dianut masyarakat India saat ini, namun komitmen untuk melestarikan aset sejarah mereka terlihat begitu kuat.
Pendurhakaan Sejarah
Ada sebuah harapan yang terpatri di hati warga untuk melestarikan eksistensi situs purbakala ini, meski tidak didesain dalam bahasa verbal menjadi sebuah aspirasi yang harus disampaikan kepada petinggi daerah. Keinginan nonverbal ini, semestinya direspon sebagai sebuah landasan dalam mengelola dan membangun Tapin ke depan.
Komitmen yang visioner dan berwawasan historis, merupakan harapan nonverbal masyarakat sehingga mereduksi sangkaan bahwa petinggi daerah tidak memiliki selera pelestarian sejarah yang cenderung durhaka terhadap peninggalan nenek moyang sendiri.
Penisbahan ini tentunya sangat beralasan, karena sumber kekuatan finansial dan relasi kekuasaan terletak pada ‘Sang Raja’ dan koleganya sebagai pemegang amanah masyarakat. Meskipun tanggung jawab ini pada dasarnya bersifat kolektif, tetapi backing utamanya berada di pundak pepimpin. Dalam hal ini adalah pemerintah daerah.
Ramah Terhadap Sejarah Lokal
Dalam konteks lokal kekinian, arus desentralisasi dan otonomi daerah merupakan kesempatan yang amat berharga dalam mengelola dan mengembangkan daerah ke depan. Dengan semangat NKRI, pemerintah daerah harus berupaya mengembangkan daerahnya lebih maju tanpa mengorbankan kekhasan identitas dan jatidiri daerah masing-masing.
Dari awal perumusan konsep desentralisasi dan otonomi daerah, disadari betul bahwa sebuah keniscayaan ketika desentralisasi dan otonomi daerah betul-betul diimplementasikan akan membuka kran pluralitas jatidiri lokal dalam lingkup NKRI.
Bahkan sejarah terbentuknya republik ini pun, sebenarnya didasarkan pada kebhinnekaan yang dibungkus dalam keikaan. Meski dalam dinamika politik bangsa Indonesia, dari rezim yang satu ke rezim yang lain, kebhinnekaan mengalami pasang surut. Karena, selama kurang lebih tiga dasawarsa, pada saat orde baru kebhinnekaan dibunuh di atas altar keikaan.
Oleh karena itu, pada pascaorde baru ini kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang majemuk mesti dipupuk dan dikembangkan kembali dalam menatap masa depan bangsa. Tentu saja bukan merupakan sesuatu yang tabu bahkan menjadi sebuah keharusan, paradigma pembangunan daerah harus ditata dan didesain dalam konteks kelokalan dan bertumpu pada identitas dan jatidiri lokal.
Namun pertanyaannya saat ini, apakah kesadaran ini sudah betul-betul masif dan menjadi spirit pemimpin di tingkat lokal, sehingga kesadaran untuk mengembangkan daerah bertumpu pada identitas dan jatidiri lokal benar-benar menjadi strategi pembangunan di daerah.
Dalam hal ini penulis sangsi, kesadaran ini telah tumbuh dan betul-betul menjadi salah satu misi pemimpin di tingkat lokal (mungkin tidak seluruhnya) yang terpola dalam strategi membangun daerah ke depan.
Hal ini tecermin dari komitmen miring pemimpin di daerah kita terhadap apresiasi aset sejarah, sebagai salah satu aset budaya pada zamannya. Padahal, sebenarnya aset sejarah seperti situs purbakala
Candi Laras jelas merupakan salah satu identitas kelokalan di masa lampau dan harus dilestarikan.
Penulis berharap, tulisan ini mampu menggugah hati pemimpin daerah khususnya ‘Sang Raja’ dan koleganya yang ada di kampung halaman penulis. Semoga keprihatinan penulis sebagai putra yang lahir dan dibesarkan di ‘tanah candi’ mendapat respon positif, sehingga ada komitmen yang visioner terhadap pelestarian aset sejarah di Kabupaten Tapin. Dan, tidak hanya situs purbakala Candi Laras, tetapi aset sejarah dan budaya lainnya. Semoga.
Saidan Pahmi