Pesan Purba di Dinding Gua Pulau Misool. Tidak banyak yang diketahui tentang masa-masa prasejarah di Papua. Karena luas daratan dan bentangan hutan hujan, hanya sedikit peninggalan dari masa lampau. Penduduk asli yang bergaya hidup semi-nomadis (setengah mengembara) tidak meninggalkan banyak bukti apa pun yang bisa dilacak.
Penduduk pertama New Guinea bermigrasi ke pulau ini melalui Asia Tenggara sekitar 50.000 tahun lampau. Ini diperkirakan berlangsung pada masa awal zaman megalitik, antara 30.000 hingga 40.000 tahun sebelum Masehi. Karena banyak lukisan batu yang ditemukan ditelusuri pada masa ini.
Lukisan-lukisan batu (petroglif) yang ditemukan di Papua sangat mirip dengan yang di Timor Timur. Susunan tanah dan situs geologis di kedua wilayah juga sangat mirip. Sebagian besar lukisan-lukisan batu telah ditemukan pada dinding-dinding batu gamping atau di gua-gua di sepanjang pantai.
Berdasarkan lukisan-lukisan dan artifak (benda-benda) logam yang ditemukan di gua-gua di pulau Misool, dekat daerah Kepala Burung, dapat disimpulkan bahwa perdagangan dengan daerah-daerah Asia lainnya telah berlangsung pada masa sebelum Masehi.
Menurut Dr. M, Irfan Mahmud, Kepala Balai Penelitian Arkeologi di Jayapura: ”Seni Batu dan penelitian situs prasejarah penting, bahkan sangat diperlukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai asal-usul dan budaya orang-orang Papua.”
Balai Penelitian Arkeologi menyebutkan, ada sekitar sembilan puluh lokasi lukisan batu (petroglif) yang bernilai di Papua yang telah diketahui. Lukisan-lukisan batu yang berusia tua itu dikeramatkan penduduk asli Papua. Orang-orang Papua yang menganggap lukisan-lukisan itu berasal dari para arwah leluhur dan hantu-hantu jahat, mengatakan lukisan-lukisan itu dibuat sebelum manusia diciptakan.
Manusia zaman prasejarah memiliki berbagai macam ketrampilan bercocok tanam, metalurgi, menenung, membuat perhiasan, namun belum menggunakan naskah tertulis. Mereka penganut animistik: tidak hanya memandang manusia, tapi juga tumbuhan dan hewan, benda dan gejala alam diresapi kekuatan gaib.
Mereka menyelenggarakan berbagai upacara keagamaan untuk menenangkan hantu-hantu dan arwah-arwah yang bergentangan di dunia ini, termasuk arwah-arwah leluhur mereka. Unsur-unsur dari pandangan animistik ini terus berlangsung dan masih diadakan sejumlah upacara keagamaan untuk menenangkan leluhur di kalangan orang-orang
Papua saat ini.
Lukisan gambar tangan tertera di berbagai tempat di mana lukisan-lukisan batu ditemukan. Di Teluk Bitssyaru dan Teluk Triton di daerah kampung Kaimana, ditemukan gambar Matuto (setengah manusia, setengah kadal), juga hewan, tumbuhan dan sosok geometris. Lukisan benda sehari-hari seperti perahu, bumerang, tombak, kapak (batu) penokok sagu, penutup penis dan topeng wajah di temukan pada permukaan batu yang datar, kerap beberapa meter di atas permukaan laut.
Pada 1939, peneliti Belanda W.J. Cator menggambar lukisan pada permukaan batu yang terjal, terletak dekat pulau di pesisir pantai Namatote, di daerah Kaimana. Lukisan-lukisan indah juga ditemukan di beberapa tempat di persimpangan danau-danau di pinggir laut di sisir timur Misool dan dibuat pada masa permukaan air laut 30 meter lebih rendah daripada saat ini. Lukisan ini terdapat di sisi batu-batu atau gua-gua dangkal yang menggantung dan berusia ribuan tahun.
Pada 2009, lusinan dari apa yang disebut Lukisan Matuto ditemukan di daerah Kaimana. “Matuto dianggap sebagai seorang pahlawan leluhur,” kata Irfan Mahmud. “Motif-motif Matuto pada permukaan batu berkait erat dengan keagamaan dan merupakan perwujudan dari masyarakat yang hidup di daerah ini pada zaman prasejarah.” Menurut Irfan, “Ada juga gambar-gambar pohon kelapa khusus yang tampaknya memiliki daya pelindung untuk menangkal pengaruh-pengaruh jahat.”
Lukisan-lukisan Matuto telah ditemukan di sejumlah tempat: pada permukaan batu di Omborecena, Memnemba, Memnemnambe dan kampung Maimai di sekitar Tumberawasi. Lukisan prasejarah lain yang digoreskan pada permukaan batu yang datar juga ditemukan di tempat-tempat ini. Lukisan-lukisan ini menggambarkan deretan hewan-hewan seperti kadal, ikan, penyu, buaya, kuskus, ular, burung, dan kuda laut.
Selain, temuan-temuan di daerah Kaimana, petroglif juga ditemukan, di antara temuan-temuan lain, di Teluk Berau (pada paruh daerah Kepala burung), di selatan pegunungan Lembah Baliem (pada ketinggian 3.850 meter) dan di wilayah Jafi, di sekitar Jayapura sepanjang Teluk Humboldt (kini Yos Sudarso).
Situs geologis di Papua meliputi bagian terbesar dari petroglif di seluruh Indonesia.
Menurut para sejarawan, sepanjang yang diketahui, zaman prasejarah meliputi masa dari dua juta tahun lampau atau lebih sebelum Masehi, ketika catatan-catatan tertulis pertama dibuat. Dengan kata lain, sejarah dimulai ketika manusia mampu mencatat apa yang terjadi. Di Belanda, zaman prasejarah berakhir saat kemunculan bangsa Romawi dan di
New Guinea terjadi saat kedatangan para pedagang Indonesia.
Para ‘imigran’ pertama tiba di daerah Kepala Burung, sekitar 4000 tahun lampau. Mereka berasal dari pulau Seram yang terkenal karena keberadaan Radja-Radja-nya. Radja-Radja ini merupakan penguasa-penguasa setempat yang bertanggung jawab menegakkan keadilan dan ketenteraman sosial. Selama berabad-abad, Radja-Radja Seram yang kemudian dikenal sebagai Nusa Ina (pulau induk) terkenal karena rempah-rempah yang mereka perdagangkan. Ada sebuah kisah legenda yang menjelaskan tentang tempat kelahiran seorang pria Nunu Saku, di Seram.
Para pedagang membangun sosolot-sosolot (pusat-pusat perdagangan kecil berbenteng), di mana mereka bisa melakukan monopoli terhadap hubungan-hubungan dagang. Selain daerah kekuasaan Radja-Radja, daerah-daerah lain tidak diperkenankan mengembangkan perdagangan. Sejumlah pusat-pusat perdagangan masih digunakan pada awal abad ke-20. Sosolot dibentuk sebagai bagian dari perluasan hak-hak atas jaringan dagang lintas-Asia Tenggara dan Melanesia.
Pada 1678, seorang berkebangsan Belanda, Johannes Keyts, “menemukan” lukisan berwarna merah pada permukaan batu di sepanjang pantai Teluk Speelman (kini Teluk Bitsyaru) dekat pulau Namatote. Keyts adalah pemimpin niaga pada Perusahaan Perdagangan Hindia Timur (VOC). Ia pengunjung pertama ke kawasan istimewa ini dan menancapkan bendera Belanda di Teluk Arguni, di sebelah utara Kaimana. Ia menamakan teluk ini ‘Heer (tuan) Quaalberghs’ sesuai nama gubernur Banda ketika itu. Karena alasan politik dan perdagangan, VOC merahasiakan penemuan ini.
Pada 1878, dua abad kemudian, lukisan-lukisan berwarna merah ini ditemukan, bersama dengan sejumlah besar lukisan batu merah, putih dan hitam lainnya di pulau-pulau kecil sepanjang pantai selatan Teluk MacCleury (Teluk Berau saat ini).
Sejak 1937 setelahnya, wilayah pantai ini kerapkali didatangi untuk diteliti antropolog Jerman, Dr. Josef Röder. Pada 1937, ia menulis makalah ilmiah pertama mengenai lukisan-lukisan prasejarah di Papua. Roder mengelompokkan lukisan-lukisan dinding gua di Papua ke dalam empat gaya: gaya Tubulinetin, Mangga, Arguni dan Ota I, serta gaya Ota II dan Sosorra.
Pada gaya Arguni dan Ota I, terdapat lukisan yang sepenuhnya berwarna hitam. Gaya Ota II dan Sosorra menampilkan lukisan perahu disertai kebiasaan meletakkan mayat di depan
gua-gua. Sebagian besar lukisan yang ditemukan berwarna merah. Juga ditemukan lukisan yang menyerupai manusia dan hewan, manusia dengan topi lancip, orang berjongkok dengan tangan diangkat, dan gambar kadal yang melambangkan leluhur.
Rancangan-rancangan ini masih tampak jelas, kendatipun sudah berabad-abad usianya dan diciptakan dari bahan-bahan alami, seperti bahan celup dari tumbuhan dan zat pewarna dari kapur atau tanah berkandungan logam. Lukisan ini dibuat melalui berbagai cara, dengan menggunakan jari dan kuas sederhana. Kadangkala disembur dengan mulut atau tiupan pada permukaan batu menggunakan buluh berongga.
Sejumlah peneliti menganggap ketakutan pada hewan menjadi alasan penggambaran hewan-hewan tertebut. Untuk menghilangkan ketakutan ini para seniman Papua terbaik di sekitar diminta menciptakan suatu lukisan hewan, entah dengan arang atau zat-zat berwarna. Peneliti lainnya mengemukakan, pelukisan mangsa (hewan buruan) sebagai bagian dari upacara perburuan gaib.
Selain gambar-gambar hewan, berbagai tanda juga tertera pada permukaan batu. Tanda-tanda ini telah dikelompokkan ke dalam kategori pria dan wanita. Daerah sekitar jalan masuk sebuah gua memuat tanda-tanda yang menunjukkan wanita (tapi juga pria) yang ditemukan menuju pusat gua. Di
gua-gua ini sejumlah sosok pahatan juga telah ditemukan. Semuanya berusia sama dan sudah dibuat pada masa tertentu di zaman ini.
Penemuan lukisan-lukisan batu yang paling penting adalah di Misool, dekat Kampung Fàfanlàp, di sisi timur pulau ini. Lokasi ini sudah diketahui etnograf F.S.A. de Clercq pada 1887. Ini jelas dari observasi de Clercq dan Smeltz berikut (tahun 1893): “Kadangkala tengkorak-tengkorak diletakkan di gua-gua untuk orang-orang mati, seperti kasus di Kafòpop, sebuah kota kecil di sebuah laut pedalaman di pantai timur Misool, … dinding gua dihiasi dengan gambar-gambar tangan, dan karena itu, orang Raja Ampat menganggapnya‘warnaoe,’ yakni keramat, dan tidak boleh didekati. Pada batu-batu gamping dekat kampung Fàfanlàp, terdapat gambar-gambar, baik di luar maupun di dalam
gua.
Gua ini sebagian di bawah air (laut) dan lukisan-lukisan ini hanya bisa dipotret dari atas perahu (kano Papua). Lukisan-lukisan di luar gua, yang berada di pucuk batu karang yang terjal, tidak begitu jelas. Ada gambar tangan, termasuk salah satu tangan dengan jari yang hilang, maupun dua gambar lingkaran memusat, dengan tutul berwarna merah (jambon) dan kuning. Pada bagian gua yang dangkal, tampak gambar-gambar tangan, ikan, lumba-lumba, ‘tongkat,’ manusia dengan berbagai gaya, deretan tutul, beberapa kano, dan gambar-gambar abstrak. Bahwa lingkungan ini masih keramat, jelas dari kenyataan bahwa ketika orang melewati batu karang yang terjal, mereka menembakkan anak-anak panah pada permukaannya.”