CANDI TIGOWANGI. Menurut Kitab Pararaton candi ini merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun. Sedangkan dalam kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal tahun 1388 M. Maka diperkirakan candi ini dibuat pada tahun 1400 M dimasa Majapahit karena pendharmaan seorang raja dilakukan 12 tahun setelah raja meninggal dengan upacara srada.
Menurut kitab negara kertagama dan Pararaton, candi ini merupakan monumen Kerajaan Mojopahit pemerintahan Hayam Wuruk. Relief candi menceritakan wayang purwo dengan tokoh Sundamala. Candi ini terbuat dari batu andesit Candi ini terletak di Pare, ± 28 km, ± 50 menit dari kota Kediri.
Berlokasi di Desa Tigowangi Kecamatan Plemahan± 25 km, ± 45 menit dari Kota Kediri.. Dari Pare, sebuah kota kecil di timur Kota Kediri, sekitar 4 kilometer ke arah barat. Reruntuhan balok-balok batu andesit di Komplek Candi Tigowangi teronggok di sekeliling halaman bangunan utama. Keberadaannya masih misteri. Bangunan ini sekaligus menjadi saksi bisu masa-masa kejayaan Majapahit.
Candi Tegowangi yang berlokasi di sebuah areal luas dan bersih
Candi ini terbuat dari bahan batu andesit dengan fondasi dari bata.
Candi Tigowangi berukuran lebar 11,20 meter, panjang 16,25 meter dan tinggi 4,29 meter. Sayangnya, keindahan candi ini tak bisa dilihat secara utuh, karena sebagian sudah runtuh. Yang masih tersisa hingga sekarang adalah bagian batur, kaki dan sebagian kecil tubuh candi. Sedang batu-batu atap candi sebagian berserakan di sekitarnya.
Pada batur candi memiliki hiasan geometris yang dihiasi dengan suluran, bunga dan gana (jenis makhluk berbentuk raksasa). Secara umum candi ini berdenah bujursangkar menghadap ke barat dengan memiliki ukuran 11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 m. Pondasinya terbuat dari bata sedangkan batu kaki dan sebagian tubuh yang masih tersisa terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi berlipit dan berhias. Tiap sisi kaki candi ditemukan tiga panel tegak yang dihiasi raksasa (gana) duduk jongkok; kedua tangan diangkat ketas seperti mendukung bangunan candi. Di atasnya terdapat tonjolan - tonjolan berukir melingkari candi diatas tonjolan terdapat sisi genta yang berhias.
Candi Tegowangi Pilar-pilar polos yang menghubungkan badan dan kaki candi dan diperkirakan seharunya berisi relief yang belum selesai dikerjakan
Pada bagian tubuh candi ditengah-tengah pada setiap sisinya terdapat pilar polos yang menghubungkan badan dan kaki candi. Pilar-pilar itu tampak belum selesai dikerjakan. Di sekeliling tubuh candi dihiasi relief cerita sudamala yang berjumlah 14 panil yaitu 3 panil disisi utara, 8 panil disisi barat dan 3 panil sisi selatan. Cerita ini berisi tentang pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa. Sedangkan pada bilik tubuh candi terdapat Yoni dengan cerat (pancuran) berbentuk naga.
Kaki candi dihiasi suluran dan bungaan. Terdapat beberapa pelipit yang melingkari kaki candi, ada yang berukir dan ada yang halus. Tiap-tiap sisi kaki candi terdapat tiga tiang panil tegak. Panil tersebut diberi hiasan gana (raksana) dengan posisi duduk dan tangan ke atas, seperti menyangga sesuatu. Di atasnya terdapat tonjolan-tonjolan berhias melingkar kaki candi. Di atas tonjolan berhias terdapat sisi genta yang berhias juga. Hiasan-hiasan ini dikombinasikan sedemikian rupa, sehingga secara keseluruhan menunjukkan hiasan yang serasi.
Di sekeliling tubuh candi, tiap-tiap sisi terdapat dua figura besar dihiasi relief. Relief yang terdapat di figura-figura ini menggambarkan kisah Sudhamala. Sudamala merupakan sepenggal cerita dalam pewayangan yang mengisahkan ruwatan terhadap. Dalam kisah ini, yang diruwat adalah Dewi Durga, isteri Bathara Guru, yang dikutuk jadi raksasa karena selingkuh. Sedang yang meruwat Sadewa, salah satu anggota Keluarga
Pendawa Lima.
Kisah Sudamala ini juga bisa dijumpai pada relief di Candi Sukuh di lereng barat Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk membaca relief tersebut, pengunjung harus berprasawya. Artinya, mengelilingi candi dari sisi kiri orang yang membaca relief atau kebalikan dari arah jarum jam. Di tengah-tengah sisi utara, timur dan selatan terdapat pilar yang menghubungkan kaki sampai tubuh candi. Pilar-pilar ini tampak belum selesai dikerjakan.
Pilar di utara dan selatan masih polos, sedang pilar di sisi timur terdapat pahatan arca yang menggambarkan seorang pria dan wanita. Tetapi, kedua pahatan ini masih kasar, juga terkesan belum selesai. Di dalam bekas bilik tubuh candi terdapat yoni dengan pancuran berbentuk naga.
Candi Tegowangi Relief cerita Sudamala yang berisi tentang pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik yang dilakukan oleh Sadewa
Candi Tigowangi menghadap ke barat. Dibagian depan terdapat tangga. Tetapi, karena kondisi candi sebagian runtuh, pengunjung dilarang naik tangga sampai di atas. Pada pipi candi terdapat relief yang meenggambarkan pemain genderang. Sekitar 10 meter di sebelah tenggara candi Tigowangi terdapat candi Perwara, bangunan kecil yang juga biasa terdapat di komplek candi-candi di Jawa.
Di halaman candi terdapat arca Parwati, Ardahanari dan Garuda berbadan manusia. Berdasarkan arca-arca dan cerita pada relief, Candi Tigowangi memiliki latar belakang Hindu. Nama Tigowangi sendiri sudah muncul pada jaman Kerajaan Majapahit. Daerah itu disebut-sebut dalam Kitab Pararaton dan Kitab Negarakertagama. Keduanya merupakan karya ‘jurnalistik’ pada jaman Singosari dan Majapahit.
Berdasarkan kedua kitab tersebut, Candi Tigowangi merupakan bangunan memorial untuk Bre Matahun, saudara Hayam Wuruk, raja Majapahit yang tersohor. Bre Matahun meninggal tahun 1310 Saka bertepatan tahun 1388 Masehi. Dua belas tahun setelah meninggal kemudian dilakukan upacara Srada dan dibangunkan candi. Dengan demikian, Candi Tigowangi diperkirakan didirikan tahun 1400 M atau 12 tahun setelah Bre Matahun meninggal.
Menurut Nasokah (44), juru pelihara
Candi Tigowangi, candi ini sekarang sudah tidak lagi digunakan warga untuk ritual keagamaan. Kecuali oleh beberapa orang Bali yang datang ke tempat. Itu pun jarang sekali. Pengunjung yang datang, pada umumnya sekadar untuk melihat lebih dekat bangunan berumur sekitar 600 tahun itu.
Mengunjungi objek wisata ini sebenarnya tidak terlalu susah. Dari Surabaya, perjalanan bisa ditempuh menggunakan bus umum jurusan Kediri via Pare. Jarak Surabaya - Pare sekitar 100 kilometer.. Desa Tigowangi berada sekitar 4 kilometer sebelah barat Pare. Dari jalan Pare - Papar, menuju Candi Tigowangi, masuk kampung sekitar 1 kilometer.
Sebagai daerah bekas kerajaan, Kediri juga memiliki beberapa objek wisata sejarah lainnya. Diantaranya, situs kerajaan Raja Jayabayo di Desa Mamenang Kecamatan Pagu. Daerah bisa dijangkau sekitar 15 menit ke arah barat daya dari
Candi Tigowangi.
Di kawasan itu juga ditemukan sebuah arca besar berwajah menyeramkan di Desa Bulusari. Arca ini lebih dikenal dengan nama Totok Kerot, berada di tepi jalan yang menghubungkan Mamenang dengan Kota Kediri. Menurut cerita rakyat di sana, keberadaan arca ini ada hubungannya dengan Raja Kediri, Jayabaya. candi ini merupakan monumen Kerajaan Mojopahit pemerintahan Hayam Wuruk.